Senin, 09 Mei 2022

Teruntuk Kaum Milenial yang Bingung Berbasa Basi. Kalian Selalu Salah

 

Basa basi adalah budaya Indonesia. banyak generasi milenial tidak tau cara basi basi yang benar. Mereka memilih hidup yang lebih sat set, das des, was wus. Namun karena telah menjadi warisan leluhur dan sebagai anak bangsa yang berbudaya mau tidak mau harus melestarikannya. Tidak hanya sebagai bentuk cinta tanah air, melestarikan basa basi sebagai budaya Indonesia adalah tuntutan agar tidak dikucilkan di kehidupan bermasyarakat. Apabila nekat menentang dampaknya tidak main-main. Anggapan tidak sopan akan dilekatkan oleh masyarakat, persona anda akan menjadi buruk, tidak diirik sebagai calon mantu idaman kecuali anda PNS dan berdampat sulit jodoh. Dan efek samping lebih jauh tidak hanya dikucilkan masyarakat tetapi jauh dengan Tuhan. Lah wong karena frustasi ga dapet jodoh terus memilih  jalan pintas dengan mendalami ilmu pelet. Kan musrik.

Eh satu lagi masalah luar biasa yang diakibatkan malas basa basi. karena menghidari ilmu hitam dan teguh pendirian di jalan Tuhan anda akhirnya harus menerima nasib seumur hidup menjombo. Tidak maslah kalo yang jomblo hanya anda. Tapi kalo banyak orang yang mengalami bisa jadi peradapan manusia musnah karena tidak terjadi perkawinan.

Saya termasuk orang yang sulit basa-basi. Bagi saya basa-basi adalah kegiatan membuang waktu dan membohongi diri sendiri. Karena takut saya tidak normal saya menanyakan ke beberapa teman seumuran ternyata ketidakmampuan basa-basi juga menjadi permasalahan bagi teman-teman saya. Alhamdulilla lega, saya masih normal.

Karena efek yang begitu luar biasa akibat malas basa-basi. Basa basi harus tetap dilakukan sebagai bentuk bertahan hidup dan meneruskan peradaban. Sering kali saya ditegur oleh ibu saya karena kurang lihai berbasa-basi. Seperti harus bertanya kabar tamu orang tua saya. Padahal apapun jawaban mereka itu tidak penting untuk saya. Dan sudah ketebak pasti jawabannya adalah “kabar baik”. Berkata sudah kenyang atau sudah makan kalo ditawari makan, padahal sebenarnya lapar. Menawarkan untuk mampir kerumah kepada orang yang bertemu di jalan padalahal seorang introvert yang tidak suka kalo ada yang bertamu ke rumah. Dan lagi banyak alasan kenapa harus berbasa basi, mau tidak mau untuk menjaga nama baik saya dan keluarga, saya melakukannya.

Setelah sekuat tenaga mengerahkan segenap jiwa raga dan pikiran ternyata basa-basi adalah cara yang efektif untuk pencitraan di hadapan generasi tua. Namun permaslahan lain justru datang dari generasi anda. Generasi yang memposisikan diri mereka sebagai kaum toleran dan kaum open mainded ini akan mengucilkan anda.

Ketika diusia 25 keatas kita ketemu orang baru, basa-basi yang dilakukan adalah bertanya seputar sudah menikan belum, sudah punya anak berapa tinggal dimana dll. Pertanyaan itu dianggap kurang etis karena itu adalah urusan privasi mereka.

Adalagi Ketika acara reuni dan basa-basi tentang pekerjaan. Itu dianggap sebagai ajang pamer pencapaian.

Lantas kalo kita tidak bioleh basa-basi tentang privasi sesuatu hal seng melekat dengan diri kita, terus mau ngobrol apa?

harga kripto? Prospek beli suatu saham? Atau kondisi bangsa yang carut marut? Apakah seperti itu basa-basi kaum milenial?

Akan terkesan sangat aneh dan kaku kalo kita membahas hal-hal tersebut.

Misal kita bertemu orang baru, untuk untuk basa-basi kita langsung membahas membahas harga pertalite yang naik, ditengah kondisi masyarakat yang masih sulit untuk bangkit. Lawan bisara kita adalah kaum sat set yang ngomong langsung ke intinya dan menaggapi “kalo kamu bukan ahlinya jangan menjadi sok ahli. Hati hati kamu pertanyaan itu bisa jadi profokasi menentang kebijakan pemerintah, atau kamu ada datanya kalau ekonomi kita masih sulit bangkit? Kalau tidak ada data dan ternyara salah, kamu bisa menyebarkan berita hoax lewat mulut ke mulut. Tolong hati-hati ya.”

Lah kalo udah begini kan bingung ya. Tambah blunder. Memang menjadi kaum milenial itu rumit dan penuh over tingking. Di posisi manapun selalu salah. Karena yang selalu benar dan punya pembelaan adalah perem puan.

Membayangkan Menolak Mbak Dian Sastro

 

Akhir-akhir ini santer dibicarakan khususnya di media sosial twitter mengenai isu Mbak Dian Sastro ditolak cintanya. Mbak Dian Sastro dinilai oleh netizen seakan tidak punya celah dan tidak layak untuk mendapatkan penolakan. Entah benar atau salah tentang isu penolakan tersebut, tetapi justru saya penasaran bagaimana rasanya menolak Mbak Dian Sastro. Menolak Mbak Dian Satro yang super glowing dengan segudang prestasi dan diidam idamkan oleh banyak kaum adam tentunya menjadi pencapaian yang luar biasa.

Coba bayangkan kata-kata apa yang cocok untuk menolak Mbak Dian Sastro. “maaf, aku tidak bisa, kamu terlalu baik untukku” mungkin adalah kata yang paling tepat.

Padalah kata-kata tersebut sering dianggap sebagai alasan klasik nan mainstream dan sangat konyol.  Jangan munafik, semua orang pasti menginginkan pasangan yang baik, entah dari segi fisik, attitude, pendidikan atau apapun. Bukan kah harusnya beruntung mendapat yang baik? Kok malah ditolak? Kan konyol! Namun itu menjadi tidak konyol lagi kalau untuk menolak Mbak Dian Sastro. Memang faktanya seperti itu. Terlalu baik.

Menolak Mbak Dian Sastro mungkin bisa juga menjadi bagian dari prestasi yang dapat dimasukkan di CV. Dengan keterangan pernah membuat geger seantero Indonesia karena menolak Dian Sastro.

Pengalaman menolak Mbak Dian Sastro juga menjadi nilai plus untuk melamar pekerjaan. Bayangkan ketika ditanya oleh HRD di akhir sesi wawancara.

            “ Beri kami alasan kenapa Anda berhak bekerja di perusahaan kami?”

kamu bisa dengan percaya diri menjawab

“ Saya pernah menolak Dian Sastro.”

Bayangkan memasarkan diri sendiri saja berhasil samapai modelan kaya Mbak Dian Sastro saja kepincut apalagi memasarkan produk perusahaan, tentulah akan menjadi pertimbangan HRD segan menolak anda.

Atau ketika melamar anak orang. Pengalaman menolak Mbak Dian Sastro akan membuat calon mertua berfikir berulang untuk menolak Anda. Jika Mbak Dian Sastro saja ditolak dan anaknya justru menjadi pendampingnya, tentu secara tidak langsung anaknya naik kelas di atas Mbak Dian Sastro. Wehh kan kerenn.

Namun di sisi lain penolakan terhadap Mbak Dian Sastro ini menjadikan Mbak Dian Sastro justru semakin berkelas. Keberanian Mbak Dian Sastro untuk mengungkapkan perasaannya kepada lelaki duluan patut diacungi jempol. Sebuah Tindakan yang mendobrak belenggu budaya patriarki terhadap kesetaraan gender. Dimana perempuan lebih diajarkan untuk menunggu, diam dan memendam perasaan. Sedangkan laki-laki akan diaggap lebih jantan ketika mereka mulai duluan. Bahkan ada petatah jawa yang mengatakan “ wong lanang menang milih, wong wedok menang nolak. Yang artinya Laki laki bisa memilih wanita manapun yang mau Dia dekati, tapi perempuanlah yang menentukan untuk menolak kalau dia tidak mau didekati.

Mbak Dian Sastro mematahkan aggapan perempuan bak berlian berharga yang memang seharusnya diam, menunggu, sampai ada seseorang yang menawarkan untuk membelinya. Ini seakan mendiskreditkan perempuan bahwa yang memiliki kewenangan menyampaikan perasaan adalah laki-laki. Lantas apa yang harus dilakukan perempuan, menunggu saja? Iya kalo ada yang datang. Kalo tidak? Bukankah berjuang lebih menantang dari pada hanya diam dan menunggu? Menunggu itu membosankan.

Entah siapa orang-orang zaman dahulu yang ngide membuat konstruksi sosial bahwa hanya laki-lakilah yang punya privilege untuk mengungkapkan perasaan duluan, atau sekadar making the first move.

Ide menyatakan perasaan duluan seperti Mbak Dian Satro perlu ditiru oleh perempuan. Jangan malah minder kalo Mbak Dian Satro saja ditolak apalagi remahan rengginang seperti Anda. Hai adek-adek cinta tak mengenal kasta. Siapapun Anda, Anda berhak memperjuangkannya, entah Anda perempuan atau bahkan Mbak Dian Sastro sekalipun.

Dari isu tersebut harusnya sekarang ditolak cintanya oleh laki-laki menjadi biasa-biasa saja. Walaupun sakit dan malu banget. Itu hal yang wajar. Karena Mbak Dian Sastropun juga pernah merasakan.

Mbak Dian Sastro mengajarkan kita untuk tidak melewatkan kesempatan. Entah hasilnya diterima atau ditolak. Itu bentuk ikhtiar. Bukankah agama mengajarkan kita untuk ikhtiar tidak hanya diam dan menunggu hasil di bidang apapun tidak hanya urusan cinta. Penolakan atau kegagalan adalah hal yang wajar dalam berjuang. Dan sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap orang pernah ditolak ataupun gagal di bidang apapun. Jadi biasa saja.