Senin, 09 Mei 2022

Membayangkan Menolak Mbak Dian Sastro

 

Akhir-akhir ini santer dibicarakan khususnya di media sosial twitter mengenai isu Mbak Dian Sastro ditolak cintanya. Mbak Dian Sastro dinilai oleh netizen seakan tidak punya celah dan tidak layak untuk mendapatkan penolakan. Entah benar atau salah tentang isu penolakan tersebut, tetapi justru saya penasaran bagaimana rasanya menolak Mbak Dian Sastro. Menolak Mbak Dian Satro yang super glowing dengan segudang prestasi dan diidam idamkan oleh banyak kaum adam tentunya menjadi pencapaian yang luar biasa.

Coba bayangkan kata-kata apa yang cocok untuk menolak Mbak Dian Sastro. “maaf, aku tidak bisa, kamu terlalu baik untukku” mungkin adalah kata yang paling tepat.

Padalah kata-kata tersebut sering dianggap sebagai alasan klasik nan mainstream dan sangat konyol.  Jangan munafik, semua orang pasti menginginkan pasangan yang baik, entah dari segi fisik, attitude, pendidikan atau apapun. Bukan kah harusnya beruntung mendapat yang baik? Kok malah ditolak? Kan konyol! Namun itu menjadi tidak konyol lagi kalau untuk menolak Mbak Dian Sastro. Memang faktanya seperti itu. Terlalu baik.

Menolak Mbak Dian Sastro mungkin bisa juga menjadi bagian dari prestasi yang dapat dimasukkan di CV. Dengan keterangan pernah membuat geger seantero Indonesia karena menolak Dian Sastro.

Pengalaman menolak Mbak Dian Sastro juga menjadi nilai plus untuk melamar pekerjaan. Bayangkan ketika ditanya oleh HRD di akhir sesi wawancara.

            “ Beri kami alasan kenapa Anda berhak bekerja di perusahaan kami?”

kamu bisa dengan percaya diri menjawab

“ Saya pernah menolak Dian Sastro.”

Bayangkan memasarkan diri sendiri saja berhasil samapai modelan kaya Mbak Dian Sastro saja kepincut apalagi memasarkan produk perusahaan, tentulah akan menjadi pertimbangan HRD segan menolak anda.

Atau ketika melamar anak orang. Pengalaman menolak Mbak Dian Sastro akan membuat calon mertua berfikir berulang untuk menolak Anda. Jika Mbak Dian Sastro saja ditolak dan anaknya justru menjadi pendampingnya, tentu secara tidak langsung anaknya naik kelas di atas Mbak Dian Sastro. Wehh kan kerenn.

Namun di sisi lain penolakan terhadap Mbak Dian Sastro ini menjadikan Mbak Dian Sastro justru semakin berkelas. Keberanian Mbak Dian Sastro untuk mengungkapkan perasaannya kepada lelaki duluan patut diacungi jempol. Sebuah Tindakan yang mendobrak belenggu budaya patriarki terhadap kesetaraan gender. Dimana perempuan lebih diajarkan untuk menunggu, diam dan memendam perasaan. Sedangkan laki-laki akan diaggap lebih jantan ketika mereka mulai duluan. Bahkan ada petatah jawa yang mengatakan “ wong lanang menang milih, wong wedok menang nolak. Yang artinya Laki laki bisa memilih wanita manapun yang mau Dia dekati, tapi perempuanlah yang menentukan untuk menolak kalau dia tidak mau didekati.

Mbak Dian Sastro mematahkan aggapan perempuan bak berlian berharga yang memang seharusnya diam, menunggu, sampai ada seseorang yang menawarkan untuk membelinya. Ini seakan mendiskreditkan perempuan bahwa yang memiliki kewenangan menyampaikan perasaan adalah laki-laki. Lantas apa yang harus dilakukan perempuan, menunggu saja? Iya kalo ada yang datang. Kalo tidak? Bukankah berjuang lebih menantang dari pada hanya diam dan menunggu? Menunggu itu membosankan.

Entah siapa orang-orang zaman dahulu yang ngide membuat konstruksi sosial bahwa hanya laki-lakilah yang punya privilege untuk mengungkapkan perasaan duluan, atau sekadar making the first move.

Ide menyatakan perasaan duluan seperti Mbak Dian Satro perlu ditiru oleh perempuan. Jangan malah minder kalo Mbak Dian Satro saja ditolak apalagi remahan rengginang seperti Anda. Hai adek-adek cinta tak mengenal kasta. Siapapun Anda, Anda berhak memperjuangkannya, entah Anda perempuan atau bahkan Mbak Dian Sastro sekalipun.

Dari isu tersebut harusnya sekarang ditolak cintanya oleh laki-laki menjadi biasa-biasa saja. Walaupun sakit dan malu banget. Itu hal yang wajar. Karena Mbak Dian Sastropun juga pernah merasakan.

Mbak Dian Sastro mengajarkan kita untuk tidak melewatkan kesempatan. Entah hasilnya diterima atau ditolak. Itu bentuk ikhtiar. Bukankah agama mengajarkan kita untuk ikhtiar tidak hanya diam dan menunggu hasil di bidang apapun tidak hanya urusan cinta. Penolakan atau kegagalan adalah hal yang wajar dalam berjuang. Dan sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap orang pernah ditolak ataupun gagal di bidang apapun. Jadi biasa saja.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar